ARTIKEL 

PARADIGMA BARU SASTRA SUFISTIK

 

 

Oleh Ahmadun Yosi Herfanda, pecinta sastra

 

——————————————————————————————

 

 

 

 

 

 

Dalam sejarah kesusastraan, tasawuf merupakan aspek batin (esoterik) wahyu keislaman yang banyak mengilhami penyair-penyair mistik dan banyak dijadikan tema pokok puisi-puisi mereka. Pada saat yang sama, ilham itu berakar kuat pada Alquran. Diantara ajaran mistik di dunia, ajaran tasawuf paling banyak melahirkan penyair. Banyak penyair besar dunia yang dilahirkan oleh tradisi tasawuf, seperti Jalaluddin Rumi, Fariduddin Attat, Muhammad Iqbal, Ibnu Arabi, Hamzah Fansuri, Amir Hamzah, dan Abdul Hadi W.M. Karya-karya mereka banyak mendapatkan sumber ilham dari ajaran kerohanian Islam yang berkembang dalam ajaran tasawuf, dan melahirkan tradisi sastra sufistik.

Sejak awal munculnya tasawuf, para penyair sufistik bukan saja telah mengisi kepustakaan Islam dengan uraian-uraian kerohanian yang sangat dalam dan intelektual. Mereka juga telah menyumbangkan banyak karya di bidang kemasyarakatan, politik, pemerintahan, seni, ilmu bahasa, metafisika, psikologi dan terutama beragam prosa dan puisi yang kaya dengan renungan, imajinasi serta simbol-simbol yang sangat mempesona. Tasawuf menjadi tema yang abadi, dipelihara dari generasi ke generasi. Tradisi sastra sufistik di Nusantara bagai mata rantai yang sambung menyambung, dari Hamzah Fansuri sampai Rukmi Wisnu Wardani.

 


Gambar di atas diambil dari MAGtheweekly.com

—————————————————————————————————————————————-

Istilah “sastra sufi” digunakan oleh Ali Audah dalam esainya, “Kutub-kutub Sastra Sufi”, di Majalah Horison edisi Mei 1986 dengan tanpa menguraikan definisi atau pengertiannya. Istilah “sastra sufi” bisa merujuk pada dua pengertian. Pertama, karya sastra yang hidup dan berkembang di kalangan para sufi dan ditulis oleh kaum sufi. Kedua, karya sastra yang memiliki kandungan tema maupun isi yang bersifat sufistik, baik yang berupa renungan-renungan dan ajaran-ajaran tasawuf, maupun berupa ungkapan cinta dan kerinduan untuk “menyatu” dengan Tuhan ataupun ungkapan “kemanunggalan” dengan Tuhan.

Sedangkan istilah “sastra sufistik” saat ini dapat diberi pengertian yang lebih luas, tanpa mempersoalkan apakah karya sastra itu ditulis oleh seorang sufi atau bukan. Semua karya sastra yang bertema tasawuf, atau berisi tentang tasawuf, dapat disebut “sastra sufistik”. Istilah “sastra sufistik” untuk selanjutnya akan digunakan untuk menyebut semua karya sastra yang bertema tasawuf, berisi pandangan dan konsep tentang tasawuf, serta berisi pengalaman kerohanian dalam menempuh jalan sufi.

Contoh-contoh karya sastra sufistik adalah puisi-puisi Jalaluddin Rumi, Farid Attar, Ibnu Farabi, Muhammad Iqbal, Hamzah Fansuri, Amir Hamzah, Abdul Hadi H.W, Emha Ainun Najib, Ahmad Nurullah, Achmad Syubanuddin Alwy, Mathori A. Elwa, Lukman Asya, dan Rukmi Wisnu Wardani. Pada karya-karya Rumi, misalnya, banyak sekali kita temukan kandungan ajaran-ajaran tasawuf yang meliputi jalan tasawuf, ajaran kearifan, kerinduan dan kecintaan kepada Allah, dan gambaran jarak antara Tuhan dan manusia. Berikut ini sebuah puisi Rumi yang jelas mengandung renungan tentang kearifan, penglihatan batin, dan seruan untuk mendekat pada  Allah:

 

SUFI MENGENALNYA

 

Karena hanya Kearifan satu-satunya kendaraan muslim sejati, ia tahu pasti dari siapa harus mendengar tentang Kearifan

Dan ketika ia mengetahui dirinya berhadapan muka dengannya betapa akan timbul keraguan

Betapa mungkin akan keliru?

Jika kepada orang yang haus kau berkata, “Ini segelas air, minumlah!”

Akankah orang itu menjawab, “Ah, itu Cuma kata-kata: biarkan aku sendirian, o pembohong, pergilah kau!”

Atau katakanlah ada seorang ibu berteriak kepada bayinya, “Dengar, anakku, aku ini ibumu!”

Adakah si bayi akan berkata, “Tunjukkan dulu buktinya, supaya aku nikmat menetek susumu.”

Jika hati seseorang telah memiliki penglihatan batin, wajah dan suara Rasulullah benar-benar mukzijat baginya.

Jika Nabi berseru dari luar hatinya, jiwa orang akan luluh memuji di dalam batinnya.

Sebab tak pernah di dunia ini telinga jiwa akan mendengar seruan yang mana seperti seruan Nabi.

Seruan yang amat mempesona itu terdengar oleh jiwa yang terbuang — ia adalah seruan Tuhan, “Lihat, aku dekat.”

Dari tubuh kau jauh, tapi dalam hatiku ada jendela mengahadp-Mu

Lewat jendela itulah, seperti bulan, kukirim pesan kepada-Mu

 

Ungkapan kerinduan utuk bertemu, dekat, dan “bersatu” dengan Tuhan juga amat jelas terlihat pada sajak-sajak Amir Hamzah dan Emha Ainun Najib. Bagi Amir Hamzah, Tuhan adalah kekasih yang selalu dirindukannya:

 

Aduh kekasihku

Padaku semua tiada berguna

Hanya satu kutunggu hasrat

Merasa dikau dekat rapat

Serupa rusa di puncak Tursina

 

(“Hanya Satu”, bait 7)

 

Sementara pada sajak-sajak Emha Ainun Najib, keinginan untuk “manunggal” agar mecapai kebakaan di sisi-Nya sangat jelas pada cuplikan sajak berikut ini:

Tuhanku

kuawali setiap langkahku

dengan asma-Mu

ampunilah kami

yang selalu merasa punya nama

yang tak kunjung tahu

bahwa segala sesuatu

akan hanya tinggal satu

Tuhanku

adapun di antara beribu mimpiku

cuma satu yang sejati

ialah di nafas-Ku

aku menyertai

Tuhanku

jika hak bagi-Mu

perkenankan aku

tinggal di dalam diri-Mu

agar sesudah lahirku

yang ini

dan yang nanti

takkan mati

 

(99 untuk Tuhanku)

 

Ragam dan bentuk sastra sufistik cukup banyak. Secara garis besar, bentuknya bisa dikelompokkan menjadi prosa dan puisi. Sedangkan ragamnya meliputi puisi-puisi pendek, syair, sampai pada matsnawi yang amat panjang, seperti Musyawarah Burung karya Fariduddin Attar yang sangat popular. Tetapi, dibanding dengan prosa, puisi merupakan bentuk pengucapan yang paling disukai para penyair sufistik dan mendominasi hampir seluruh kepustakaan tasawuf.

Ciri-ciri umum puisi-puisi sufistik adalah berupa lirik-lirik yang didaktik dan romantik. Arberry (1985) dalam penelitiannya terhadap puisi-puisi Sufi Persia juga memasukkannya ke dalam tiga kategori utama itu (lirik, didaktik, dan romantik). Puisi-puisi sufistik bersifat lirik, karena pada umumnya merupakan ungakapan perasaan cinta dan kerinduan kepada Tuhan. Puisi-puisi sufistik sebagian besar merupakan lukisan perasaan cinta dan kerinduannya itu.

Puisi-puisi lirik para penyair sufistik menjadi romantik, karena dalam mengungkapkan perasaan cinta dan kerinduannya pada Tuhan banyak dilukiskan dalam nada-nada yang sendu dan romantic. Lirik-lirik romantik secara lebih jelas dapat kita temukan pada puisi-puisi Amir Hamzah, misalnya pada kutipan berikut ini:

DOA

 

Dengan doa kubandingkan pertemuan kita, kekasihku?

Dengan senja samara sepoi, pada masa purnama meningkat naik setelah menghalau panas payah terik.

Angin malam mengembus lemah, menyejuk badan, melambung rasa, menayang pikir, membawa angan ke bawah kursimu.

Hatiku terang menerima katamu, bagai bintang memasang lilinnya.

Kalbuku terbuka menunggu kasihan, bagai sedap malam menyirak kelopak.

Aduh kekasihku, isi hatiku dengan katamu, penuhi dadaku dengan cahayamu, biar bersinar mataku sendu biar bersinar gelakku raya.

 

(Nyanyi Sunyi, halaman 15)

 

Puisi-puisi sufistik itu juga bersifat didaktik, karena di dalamnya banyak mengandung berbagai aspek ajaran Tasawuf, baik tentang kebijaksanaan hidup, maupun tentang hubungan manusia dengan Tuhan. Bahkan sebenarnya, puisi-puisi sufistik itu banyak dijadikan sarana untuk menyampaikan ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan tasawuf.

Sedangkan kalau dilihat dari segi tema, maka puisi-puisi sufistik memiliki, setidaknya, empat tema pokok, yakni, kefanaan dan kekekalan, kematian,  cinta ketuhanan, serta kemanunggalan dengan Tuhan. Keempat tema pokok sastra sufistik ini sejalan dengan tingkatan-tingkatan penghayatan kerohanian kaum Sufi terhadap hakekat kehidupan, yakni:

Pertama, mengamati dan merenungkan gejala-gejala kehidupan dan tanda-tandanya pada alam semesta, sehingga menemukan kesadaran bahwa sesungguhnya hidup di dunia adalah fana.

Kedua, dari kesadaran akan kefanaan hidup itu sampailah kesadaran manusia pada maut, bahwa semua manusia — bahkan semua kehidupan di alam smesta — akan sampai pada maut. Semuanya akan mati dan musnah, kecuali Tuhan.

Ketiga, dari kesadaran akan maut itu, tumbuh kesadaran bahwa manusia harus menumbuhkan rasa cinta kepada Tuhan dalam dirinya. Karena hanya dengan mencitai Tuhanlah manusia bisa mendapatkan balasan cinta dari Tuhan, untuk kemudian hidup kekal dalam cinta Tuhan setelah maut merenggutnya.

Keempat, dari kesadaran bahwa hanya dengan hidup dalam api cinta di sisi Tuhan manusia bisa mendapatkan kekekalan. Maka lahirlah kerinduan-kerinduan untuk “manunggal” dengan Tuhan, bukan saja di akherat kelak, tapi juga dalam kehidupan di dunia. Manusia berjuang dengan berbagai praktek peribadatan dan tarikat untuk mencapai tingkat makrifat (kemanunggalan dengan Tuhan). Dari sini pula kemudian muncul berbagai konsep kemanunggalan manusia dengan Tuhan seperti manunggaling kawul lan Gusti dalam kebatinan Jawa.

Intisari dari tahap-tahap penghayatan kerohanian terhadap hakekat kehidupan itu bisa dirujukkan pada Firman Allah: Semua yang ada di bumi itu fana (akan binasa). Dan akan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan (QS 55:26-27). Oleh para Sufi ayat itu dijadikan sebagai “gantungan” doktrin khas mereka tentang kefanaan. Sifat-sifat manusia yang fana, melalui “kemanunggalan” dengan Tuhan, mereka meraih kebakaan kehidupan spiritual di sisi Allah.

Dalam puisi-puisi sufistik, keselarasan antara pengalaman yang transenden dan immanen, antara yang kekal dan yang fana, antara komponen-komponen kerohanian, psikis dan sensual, berpadu menjadi kesatuan yang mempesona. Banyak puisi yang lahir dari pengalaman kerohanian yang dalam dan ekstase sufistik. Ungkapan-ungkapan puisinya kaya dengan simbol-simbol yang diambil dari sejarah atau kisah-kisah keagamaan, serta petunjuk-petunjuk yang terdapat di dalam Alquran. Simbol-simbol ini sekaligus mengungkapkan pengalaman keagamaan dan gagasan tasawuf, pandangan dan tanggapannya terhadap kehidupan sosial, moral, keagamaan, budaya, dan pandangan metafisik, serta keyakinannya kepada Tuhan sebagai sesuatu yang transenden dan sekaligus immanen.

Disamping itu, puisi-puisi sufistik itu berpusat pada upaya mengungkapkan kerinduan dan cinta kepada Allah, serta renungan atas kefanaan dan kekekalan hidup. Lebih jauh lagi, mengenai tahap-tahap yang mesti ditempuh seseorang untuk sampai kepada perkembangan pribadi yang vertical, sehingga mencapai makrifat. Pada dua puisi karya penyair sufi termasyhur Jalaluddin Rumi berikut ini dapat dipahami bagaimana sufi sejati dan jalan tasawuf sebagai berikut:

 

SUFI SEJATI

Apa yang membuat orang jadi sufi? Hati yang bersih

Bukan baju yang kumal dan nafsu yang liar

Mereka yang terikat pada dunia telah memakai namanya

Namun segala ampas dapat ia saring sari murninya

Sufi sejati mudah dalam kesulitan, riang dalam bencana

Hantu-hantu pelindung yang menjaga gapura istana Keindahan

Dan mengurung tempat yang tentram itu

dengan pentungan menakutkan

Akan memberi jalan kepadanya, dan tanpa kenal takut ia pun lewat

Seraya memperlihatkan panah sang Raja, masuk ke dalam

 

(Dikutip oleh Hadi, 1985: 5)

 

Pernyataan cinta kepada Allah merupakan kutub lain yang amat menarik dalam syair-syair para sufistik. Syair-syair Dzun Nun, misalnya, menggunakan ungkapan-ungkapan mesra sebagai pecinta sejati terhadap Khaliknya, sebagaimana telah dilakukan sebelumnya oleh Rabiah Al-Bashri. Ciri-ciri syair Dzun Nun seperti ini, menurut Arberry (1985: 65) amat membantu dalam menanamkan satu tradisi yang kemudian menjadi ciri khas yang menonjol dari kepustakaan tasawuf:

Aku mati, namun

Gairah cintaku kepada-Mu baka

Tujuanku tak sekedar memiliki cinta-Mu, pun

Meredakan demam jiwaku

 

Kepada-Mu jua jiwaku menangis

Dalam diri-Mulah segenap angan-anganku berada

Dan kebaikan-Mu jauh di atas

Kemiskinan setitik cintaku

 

Dalam munajatku aku menghadap-Mu

Dan dalam Diri-Mu kucari sandaran terakhirku

Kepada-Mulah air mataku tertumpah

Engkau hidup dalam lubuk benakku

 

Betapa pun lama sakitku

Kejemuan nan meletihkan ini yang Kau pikulkan kepadaku

Takkan pernah kukatakan kepada insan

 

Hanya Dikaulah yang tahu

Derita di dadaku

Tak keluarga, tak pula tetangga ternah tahu

Luapan kesengsaraanku

 

Demam membakar lubuk kalbuku

Memporak-porandakan anasir tubuhku

Melenyapkan dayaku

Dan menggelorakan jiwaku

 

Tidakkah Kau tuntun

Pejalan yang letih karena beban di pundak

Yang menuruni lereng-lereng ajal

Bak musafir berkelana?

 

Tak pulakah Kau nyalakan suar

Bagi yang beroleh petunjuk benar

Tapi tak tergenggam pelita paling redup pun

 

Oh, kepadakulah Kau anugerahkan Karunia-Mu

Demikian membuai

Dan kelimpahan kemudahan-Mu

Meneguhkan kefakiranku

 

(Dikutip oleh Arberry, 1985: 65-66)

 

Tuhan sebagai kekasih yang dicinta, bagi Dzun Nun, sebagaimana diungkapkan pada puisi tersebut, adalah segalanya. Tempat kembali satu-satunya yang tidak bisa ditukar oleh apapun. Manusia selalu mengingat Allah dengan berdzikir untuk membangun cinta yang sejati adalah agar Allah juga mencintainya sehingga terjalin hubungan yang mesra antara manusia dengan Tuhan, hubungan saling mencinta. Secara lebih universal Ghazali (1968: III, 18) berkata: Tiap-tiap orang yang terkenal mencintai Allah, mencintai kerelaannya, dan mencintai dengan kerinduan untuk menemuinya di akherat, maka apabila ia mencintai orang lain, niscaya adalah mencintai pada jalan Allah. Karena tiada tergambar ia mencintai sesuatu, kecuali ada kesesuaian untuk menjadi kecintaannya, yaitu kerelaan Allah Azza wa Jalla.

Wasilah (jalan) kepada yang dicintai, adalah mencintai pula. Dan apa yang dicintai untuk kecintaan yang lain daripadanya adalah yang lain itu pada hakekatnya yang dicintai. Tetapi jalan kepada yang dicintai adalah mencintai juga (Ghazali, 1968: III, 16). Sementara bagi Jalaluddin Rumi, cinta (kepada Allah) adalah segala-galanya. Dengan menggunakan imaji dan simbol yang diambil dari pengalaman sehari-hari, Rumi menulis:

 

Karena cinta pahit berubah menjadi manis,

Karena cinta tembaga berubah menjadi emas

Karena cinta ampas berunah menjadi sari murni

Karena cinta pedih menjadi obat

Karena cinta kematian berubah jadi kehidupan

Karena cinta raja berubah jadi hamba

 

Dengan demikian, dapat dikatakan, bahwa tasawuf atau sufisme merupakan wadah yang sesuai dengan mereka yang berjiwa seniman dalam memenuhi kerinduannya untuk menghayati masalah-masalah kerohanian dan ketuhanan. Puisi  sebagai salah satu bentuk ekspresi seni sastra, merupakan media yang sangat disukai oleh para sufi untuk menyatakan perasaan, pikiran, dan sikap hidupnya. Sementara kaum sufi yang bukan penyair umumnya sangat suka menyitir puisi-puisi sufi lain atau gubahan gurunya dalam mengemukakan pandangan-pandangannya tentang ketuhanan dan kebijaksanaan hidup. Puisi panjang yang sangat terkenal “Musyawarah Burung” (Mantiqut Thair) ditulis oleh Fariduddin Attar.

Puisi memiliki peranan yang sentral dan sangat penting sebagai sarana penyampaian ajaran-ajaran dan berbagai konsep tasawuf. Di samping itu, puisi merupakan sarana dzikir yang cukup penting, yakni melalui lirik-lirik alam yang menggambarkan proses penghayatan kaum sufi terhadap hakekat kehidupan, kefanaan, dan kekekalan untuk memahami kebesaran Allah. Peranan puisi dalam tasawuf  antara lain adalah sebagai sarana penyampaian dan pengembangan ajaran serta berbagai konsep tasawuf, sebagai salah satu bentuk dzikir untuk mengingat dan meghayati sifat-sifat Allah, sebagai sarana untuk mengungkapkan rasa cinta dan kerinduan kepada Allah, sebagai sarana penghayatan dan ungkapan hubungan manusia dengan Allah, sebagai sarana penghayatan hubungan manusia dengan alam semesta.

Mengapa para sufi memilih puisi sebagai media ekspresinya? Kuncinya mungkin terletak pada kenyataan, bahwa Alquran, yang ditulis secara puitis maha indah, dan kaya dengan simbol serta imajinasi, sangat merangsang pecintanya untuk menulis puisi dan melakukan berbagai tafsir puitik. Gagasan-gagasan keagamaan tertentu, yang membangun teologi Islam yang sentral sifatnya serta citraan-citraan tertentu dari Alquran dan Hadits, dengan mudah bisa dialihkan menjadi simbol yang benar-benar puitik.

Sebagai media ekspresi bagi pengalaman kerohanian dan religius, puisi memiliki beberapa keuntungan. Sebagaimana tasawuf, puisi memang terutama bertalian dengan pengalaman batin manusia yang dalam. Seperti puisi atau pengalaman estetik, pengalaman sufistik, selain bersifat universal, juga sangat unik dan personal. Malah boleh dikatakan, pengalaman sufistik itu selalu memiliki kualitas puitik. Sebaliknya, pengalaman puitik dan estetik yang dalam juga memiliki kualitas sufistik. Karena itu, dalam puisi yang berhasil kepersonalan, keunikan, dan keuniversalannya itu bisa terpelihara dengan baik.

Puisi memainkan peranan sentral, khususnya dalam menyampaikan ajaran-ajaran yang tidak bisa disampaikan secara deskriptif. Di samping itu, juga karena puisi memiliki kemungkinan yang tak terbatas dalam menciptakan hubungan baru antara gagasan-gagasan keagamaan dan keduniawian, antara imaji-imaji profan dan sakral, serta antara dunia batin dan dunia lahir, antara rohani dan jasmani. Penciptaan hubungan baru ini, sehingga mencapai perpaduan yang selaras, agaknya sesuai pula dengan ajaran inti Alquran. Menurut Iqbal (1983: 42-51), kitab suci umat Islam tidak saja mengajarkan agar umat manusia belajar banyak dari pengalaman empiris dan sejarah, melainkan juga disarankan belajar dan memperhatikan kenyataan lain, yaitu pengalaman batin. Pengalaman keagamaan, mistik, sufistik, puitik, dan estetik, semuanya termasuk dalam pengalaman batin, dan senantiasa berhubungan dengan pengalaman-pengalaman lain yang datang dari luar.

Pengalaman batin, empiris, dan sejarah itu menjadi sangat mungkin untuk dipadukan secara serasi dalam puisi. Apalagi bila seorang penyair sufistik ingin menyajikan pengalaman kerohanian, atas gagasan-gagasan keagamaannya secara mempesona, tahan hempasan waktu, tetap unik dan personal; puisi merupakan media eskpresi yang paling cocok. Para penghayat tasawuf sejak awal sudah menyadari hal ini, terutama yang memang dikaruniai bakat sebagai penyair.

Pamulang, 22 Juli 2020

 

Daftra pustaka:

  1. Al-Kamil, Musaf. 2017. Alquran dan Terjemahnya. Jakarta: CV Darus Sunnah.
  2.  Arberry, AJ. 1985. Pasang Surut Aliran Tasawuf. Terjemahan Bambang Irawan. Bandung: Mizan Pustaka.
  3. Attar, Fariduddin. 1983. Musyawarah Burung. Terjemahan Hartoyo Andangjoyo. Jakarta: Pustaka Jaya.
  4. Audah, Ali, 1986. “Kutub-kutub Sastra Sufi”. Jakarta: Horison.
  5. Ghazali, Imam. 1968. Ihya Ulumudin. Terjemah TKH Jakub RA, Surabaya VC Paisan,
  6. Hadi W.M., Abdul. 1976. Meditasi. Jakarta: Pustaka Jaya.
  7. Hadi W.M., Abdul. 1977. Tergantung pada Angin. Jakarta: Pustaka Jaya.
  8. Hadi W.M., Abdul. 1985. Rumi, Sufi, dan Penyair. Bandung: Pustaka.
  9. Hamzah, Amir. 1982. Nyanyi Sunyi. Jakarta: Dian Rakyat.
  10. Igbal, Muhammad. 1953. Rahasia-rahasia Pribadi. Terjemah Bahrum Rangkuti. Jakarta: Pustaka Islam.
  11. Kristeva, Julia. 1974. Revolution in Poetic Language. Translatet by Margaret Waller. New York: Columbia University Press.

Keterangan gambar:

Gambar di atas mengambil dari www.magtheweekly.com

Related posts

Leave a Comment

4 × three =